Introspeksi Diri

Alkisah seorang guru meminta muridnya untuk mendata siapa saja yang menjadi ahli neraka. Dengan perasaan bangga karena mendapat kepercayaan gurunya, dia pun melakukan survei tentang apa yang gurunya maksud. Setelah merasa cukup dia kembali kepada gurunya, lalu berkata :
“Alhamdulillah, saya sudah mendata dan mencatat semua orang- orang yang akan menjadi ahli neraka sebagaimana yang pernah guru ajarkan pada saya selama ini. Mereka itu tidak lain adalah Orang- orang kafir, pezina, orang-orang musyrik, pencuri, orang munafik, pembunuh dan seterusnya (seraya membeberkan catatan panjangnya dari yang paling besar hingga terkecil). Mereka itulah orang- orang yang akan menjadi ahli neraka bahkan kekal di dalamnya.”
Melihat apa yang dikatakan muridnya, guru bertanya kepada muridnya : “Tapi bagaimana kalau seandainya mereka bertaubat, apakah mungkin mereka itu akan terus menjadi ahli neraka? Bukankah Alloh Mahapengasih dan Mahapenerima taubat ?
Murid : Oh yah benar juga apa yang guru katakan, kalau begitu mereka belum tentu dapat sebagai ahli neraka, guru ?
Setelah gagal dari misi sebelumnya, ia pun pergi untuk melakukan misi kedua tanpa putus asa bertahun- tahun ia berkelana kesana kemari mencari dan mengoreksi orang-orang yang akan menjadi ahli neraka. Setelah merasa cukup dengan apa yang dia temukan, dia pun kembali menepati janjinya untuk mebawa hasil temuannya.
Murid : Menurut saya, yang akan menjadi ahli neraka itu adalah seekor anjing yang gila, najiz, busuk, kurapan, penyebab petaka, tidak bermanfaat sama sekali bagi manusia dan seterusnya (sambil bercerita panjang lebar).
Guru : Bukankah hewan tidak pernah dihisab oleh Alloh dan meminta pertanggungjawabannya. Jadi tidak mungkin kalau dia sebagai ahli neraka kan!!
Sang murid merasa gagal terhadap misi kedua, dia menyesal bahwa apa yang dia timbah dari gurunya selama ini ternyata tidak juga dapat memecahkan satu perkara ini, bukankah di antara murid yang lain, sayalah yang terpandai dan dikategorikan terbaik (dalam hatinya berkata). Dia harus melakukan misi ketiga dan berharap benar- benar menemukan jawaban yang tepat.
Sekali lagi dia mohon pamit untuk misi ketiga seraya meminta do’a sang guru agar dapat menemukan jawabannya. Bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu dia berkelana ke arah mana saja demi mendapatkan jawabannya, pegununan, lemba, lautan dia lalui. Setelah berfikir, merenung dan penuh evaluasi dia merasa harus kembali kepada gurunya.
Guru : Bagaimana, apakah kamu sudah menemukan orang- orang tersebut ?
Murid : Ia guru, dan sayalah orangnya!! Saya-lah orang yag akan menjadi ahli neraka, karena betapa pun besar ni’mat kesempatan yang Alloh berikan oleh Alloh kepada saya, ternyata hanya saya habiskan untuk mencari dan mencari kesalahan orang lain.
Sobat mudah muslim, demikian kiranya realitas hidup kita selama ini. Tidak sedikit yang saling sikut- sikutan, saling mendikte, saling menjatuhkan untuk kepuasan kita. Kita terlalu sering menyibukkan diri untuk melihat dan mendikte kesalahan orang lain dari menyibukkan untuk introspeksi diri, bahkan dalam latarnya kita pun ikut andil sebagai pemeran utama dalam setiap lakon introgasi kepentingan kita. Gajah di pelupuk mata tidak kelihatan, sementara kuman di seberang lautan kelihatan dengan jelas, begitu kata pujangga sering berfilosofi.
Ketika persoalan pribadi yang dibawak adalah nama kelompoknya, pengatasnamaan kelompoknya. Sehingga kita pun sama-sama mengklaim sebagai yang terbaik, paling layak, paling terjaga, paling Islami, paling nyunnah, paling Insaf, paling taat, paling pintar, paling alim, paling berjasa, paling bermanfaat dan paling-paling yang lain sementara yang lain adalah kafir, tidak Islami, tidak nyunnah, bid’ah, tidak mengikuti Qur’an dan hadits, tidak insaf, tidak taat, dhzolim, tidak layak, bodoh, tidak bermanfaat dan sifat-sifat jelek yang khusus kita hadiahkan untuk orang selain kita di sekitar kita.
Sering kali kita bicara menjunjung tinggi keadilan sosial dan nilai, etika, kemanusiaan, sementara kedhzoliman dan kesetanan luar biasa kita praktekkan. Kejujuran kita proklamirkan sementara prilaku korup kita dendangkan. Kita bicara kasih sayang tapi tidak lain fitnah kita nyanyikan. Kedamaian kita dengungkan, tapi justru perpecahanlah yang kita kobarkan. Kita bicara syari’at tapi kita tidak tau landasan. Kita mengaku ber-Tuhan tapi mala Tuhan kita sembunyikan. Na’udzubillah.
Kita terlalu pandai bersilat lidah, sikap merasa pun tak jarang menjadi menu harian kita, coba bagaimana dengan ayat berikut :
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, Padahal belum nyata bagi Alloh orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar” (terj.QS.Ali-Imron[3]:142)

Maka yang paling penting saat ini adalah, seberapa besar usaha yang kita lakukan untuk melakukan yang terbaik menurut Alloh sebagaimana ter-record dalam Al-Qur’an dan Tauladan Rosul-Nya SAW. Tidak menjadi penjahat berjubah, penjahat berdasi, penjahat berseragam pelajar, ber-almamter mahasiswa, bertopeng guru, dosen, pemerintah dan sebagainya. Kita tidak terlalu ekstrim untuk menilai orang lain, karena pokok dasarnya saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran bukan dalam rangka mencari-cari kesalahan orang lain. Mari…!!


Harmoko
Palembang
http://www.fosisumsel.net76.net

Komentar

Postingan Populer