Mahasiswa "belajar untuk menjadi lebih dewasa"

@diskusi ke3 forsilam yogyakarta di maskam uin suka pada 10-02-2012
oleh: Basri Mustofa (Bi Mustofa) As-Syma2009
bismillah.
 1. BERPIKIR SECARA LUAS

 Berpikir secara luas berarti berpikir dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Sebab, segala sesuatu terkadang tidak sesederhana yang dipikirkan. Banyak hal yang dikira sederhana, tapi berdampak luas dan panjang. Sehingga diperlukan sikap hati-hati dan tidak tergesa-gesa sebelum memutuskan melakukan sesuatu. Aspek yang harus dipertimbangkan terdiri dari akibat dan konsekuensi, pengaruh, hal yang diluar kehendak, sudut pandang yang lain, dan perasaan orang lain. Aspek yang pertama adalah akibat dan konsekuensi. Ini adalah aspek yang paling penting. Tidak ada yang meninggalkannya kecuali oleh orang yang tergesa-gesa dan sembrono. Sebab, tidak ada suatu kejadianpun yang terjadi, tanpa ada penyebabnya. Segala yang kita nikmati sekarang, adalah buah tindakan kita di waktu yang lalu. Dan apa yang kita dapatkan di masa depan adalah akibat tindakan kita saat ini. Akibat dan konsekuensi yang didapatkan terkadang bersifat tetap dan menyakitkan. Atau bahkan kehancuran. Oleh sebab itu hal yang pertama kita pertimbangkan adalah sesuai atau tidaknya tindakan kita dengan aturan agama. Setelah itu baru melihat yang lain, seperti apakah tindakan kita akan menyebabkan kehormatan jatuh, dan sebagainya. Aspek yang kedua adalah pengaruh. Bisa saja perbuatan seseorang berpengaruh secara luas dan merugikan orang yang sebenarnya tidak bersalah. Sifat kebanyakan manusia, menyamaratakan sesuatu karena pengaruh kedekatan. Misalnya, seorang yang melakukan kejahatan, menyebabkan anak, istri dan keluarganya turut dipersalahkan. Kasus Gayus Tambunan contoh yang lain, tindakan satu oknum pegawai pajak, mencemarkan institusi dan seluruh pegawai pajak. Orang yang bijaksana, tidak akan menyebabkan orang yang lain susah-apalagi orang terdekatnya-akibat tindakan buruknya. Tanpa teman, tak seorang pun akan memilih hidup, meskipun dia memiliki semua barang lain. Aspek yang ketiga, hal yang diluar kehendak. Banyak hal terjadi tanpa bisa kita prediksikan. Untuk itu kita perlu untuk mengantisipasinya sebelum terjadi. Apalagi di zaman informasi seperti ini, dimana banyak aturan berubah dan adanya pendobrakan besar-besaran terhadap batas-batas yang berlaku pada masa sebelumnya.Apa yang berlaku pada masa sebelumnya, belum tentu berlaku pada zaman ini. Apa yang berlaku tahun ini, belum tentu berlaku pada tahun mendatang. Ketika kita mendapatkan keamanan kerja saat ini, belum tentu beberapa tahun lagi seperti itu. Antisipasi tidak menafikkan tawakal, sebab kita dituntut untuk berusaha dengan sebaik-baiknya. Aspek yang keempat, sudut pandang yang lain. Kebuntuan pikiran dan penderitaan terjadi ketika kita melihat sesuatu hanya dari sudut pandang sendiri. Paradigma diri kita, terkadang terkungkung oleh egoisme, kepentingan, dan sentimen pribadi. Dengan melihat sudut pandang yang lain, diharapkan diri kita akan ‘kaya’ dan lebih mudah ketika kita dihadapkan dengan kesulitan. Aspek yang kelima, perasaan orang lain. Sebelum bertindak dan melakukan sesuatu yang melibatkan orang lain, kita harus mengetahui dan menjaga perasaannya. Apakah ada yang merasa tersinggung dan dirugikan karena tindakan kita. Termasuk tindakan tidak terpuji ketika kita berbuat tanpa memperhatikan perasaan orang lain. Ketika meremehkannya, jangan salah siapa-siapa ketika kita tidak disukai orang lain. Setelah kita mengetahui aspek yang harus kita perhatikan sebelum bertindak, mari kita cari tahu penyebab seseorang meninggalkannya. Penyebabnya adalah, kemalasan dan sikap terburu-buru. Dan ini terjadi pada banyak orang, termasuk saya. Solusinya adalah hilangkan sifat malas, berfikirlah sebelum bertindak, perbanyaklah merenung dan bermusyawarahlah dengan orang  yang bijaksana. Semoga kita mendapatkan hasil yang terbaik dari tindakan kita.

 2. SIKAP TEGAS

Namun terkadang, karena sikap lemah atau karena takut kepada penilaian orang lain, kita menafikkan hal tersebut. Padahal sikap tegas bisa dilakukan bahkan oleh orang yang berkepribadian sangat lemah. Kenapa? Karena sikap tegas, tidak harus keras ataupun kasar, walaupun sikap keras dan kasar merupakan salah satu ciri ketegasan. Sikap tegas bisa dilakukan bahkan dengan kelembutan. Ada yang berkata, bahwa ketegasan adalah seperti besi yang dibungkus dengan kain yang lembut. Selembut apapun sebuah kain, ketika didalamnya ada besi, tidak ada seorangpun yang mau memukulnya. Artinya sikap tegas akan memperlihatkan kepada orang lain, bahwa kita memiliki batasan yang tidak boleh mereka langgar. Nah, karena kita bersikap tegas, orang lain akan berpikir ulang ketika akan melanggar batasan itu. Berbeda dengan orang yang tidak tegas, orang lain akan seenaknya melanggar batasan tersebut. mempunyai cara yang lain, yaitu dengan mengambil jarak dan menunjukkan sikap bahwa kita tidak menyukai kelakuannya, tapi dengan diam. (Menunjukkan ketidaksukaan adalah salah satu cara yang memperlihatkan ketegasan kita). Contoh FPI

 3. SIKAP SEDERHANA

 Jadilah hebat, tapi tetaplah sederhana Dalam menjalani hidup, manusia ditakdirkan secara berbeda-beda. Ada yang ditakdirkan miskin, ada juga yang kaya. Ada yang ditakdirkan cantik atau tampan, namun ada juga yang ditakdirkan tidak seperti itu. Semua itu mempunyai hikmah, yang kebanyakan kita tidak mengetahuinya. Namun intinya, semua adalah ujian yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Allah subhanahu wa Ta’ala yang Maha Bijaksana mengetahui kadar keimanan, kemampuan dan kesanggupan seseorang. Nah, tidaklah manusia diuji melainkan sesuai dengan kadar itu. Tidaklah lebih baik, orang yang ditakdirkan kaya dengan orang yang ditakdirkan miskin. Tetapi juga tidaklah lebih baik orang yang ditakdirkan miskin dengan orang yang ditakdirkan kaya. Yang terbaik adalah orang yang mampu melewati ujian itu dengan sebaik-baiknya. Namun, banyak manusia yang melalaikan hal tersebut. Banyak orang yang beranggapan bahwa kemuliaan itu berasal dari harta dan kedudukan. Yang menjadikan mereka, ketika mendapatkan kedua ujian tersebut menjadi lupa diri. Mereka beranggapan bahwa harta dan kedudukan yang mereka peroleh semata-mata jerih payah mereka sendiri. Itulah salah satu ciri sikap angkuh. Sikap yang sangat buruk dan dibenci oleh Allah subhanahu wa Ta’ala. Buah dari sikap ini banyak sekali, diantaranya, sikap keras kepala terhadap kebenaran, menganggap dirinya yang paling tinggi, suka menghina, iri, dengki dan suka pamer. Yang jadi pertanyaan adalah, apakah kita dilarang untuk memiliki harta dan memiliki kedudukan yang tinggi. Jawabannya adalah hal tersebut tidak dilarang, asalkan sesuai dengan kaidah dan aturan yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa Ta’ala. Boleh kita kaya atau berkedudukan tinggi, tetapi tidak boleh kita menyombongkan diri dan berbuat kerusakan dengan hal tersebut. Salah satu yang harus kita miliki adalah sikap sederhana ketika kita diuji dengan kedua hal tersebut. Maksudnya adalah tetap seperti orang yang lain dan lebih berendah hati walaupun dalam kenikmatan kita mungkin ‘lebih’ daripada orang lain. Kita menunjukkan nikmat Allah subhanahu wa Ta’ala dengan tujuan mensyukurinya dan bukan pamer, tapi dengan syarat tidak berlebihan. Misalnya, kita diberi rizki berupa harta yang lumayan, kita mensyukurinya dengan berpenampilan yang rapi. Ada sebuah kisah dari Abdullah bin Umar Radiyallahu Anhu, di dalam kitab Hilyah Al Aulia I:302. Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Umar tentang pakaian seperti apa yang dipakai beliau. Beliau menjawab, “Aku memakai pakaian yang tidak membuat orang-orang bodoh memandangku hina dan tidak dicela oleh orang-orang yang sabar.” Laki-laki tersebut bertanya, “Apakah maksudnya?” Ibnu Umar menjawab, “Pakaian yang seharga antara 5 sampai 20 dirham.” Lihatlah, seorang imam besar mengajarkan kepada kita untuk bersikap biasa saja. Tidak terlalu merendah, juga tidak terlalu terlihat tinggi. Tapi, terkadang sifat pamer seseorang menyebabkan sikap yang berlebihan. Kita lihat, di jejaring sosial, banyak sekali orang yang memamerkan ‘kelebihan’ yang mereka miliki. Terlihat bertebaran foto-foto narsis orang dengan menunjukkan hal yang-mungkin-menurut mereka akan menaikkan status sosial. (Padahal belum tentu itu milik mereka, hehehe). Fenomena ini juga terjadi di dunia nyata. Betapa orang dengan gaji pas-pasan (atau tidak memiliki gaji?) rela bersusah payah untuk memiliki gadget terbaru agar dianggap ‘keren’, ‘gaul’ dan tidak ketinggalan jaman. apa manfaatnya melakukan hal-hal seperti itu? Justru menurut saya, ketika terjatuh kedalam hal tersebut , ada beberapa akibat negatif yaitu menyusahkan diri sendiri, membuat sombong, dan menciptakan kesenjangan sosial, menyebabkan iri hati sehingga dapat menimbulkan kriminalitas. Mungkin, hal tersebut dilakukan karena menghindari celaan orang lain. Perhatikan, celaan manusia tidaklah berbahaya bagi kita, walaupun terkadang menyakitkan. Apalagi celaan yang sifatnya ‘materialistis’ seperti itu. Manusia-manusia besar saja dicaci dan dicela, apalagi kita. Saran saya, jangan didengarkan. Sikap pamer bukan cuma dalam hal kekayaan dan kedudukan, tapi juga dalam hal-hal yang lain, seperti ilmu, pemahaman, keahlian, banyaknya pengikut, dan masih banyak lagi. Contoh sikap ini adalah berlebih-lebihan dalam bicara, memfasih-fasihkan pembicaraan. Orang yang bijaksana, tidak akan berlebihan dalam segala hal. Orang yang bijaksana adalah orang yang tidak akan membanggakan sesuatu yang sifatnya fana. Harusnya kita menyadari kelemahan kita, apa yang kita bangga-banggakan itu dapat hilang dalam sekejab, kalau Allah subhanahu wa Ta’ala menghendaki. Oleh sebab itu, bersikap sederhana akan menyelamatkan kita dari berbagai pengaruh buruk. Bersikap sederhana adalah salah satu dari ciri kerendahhatian. Kerendahhatian adalah ciri kebijaksanaan. Sedang kebijaksanaan adalah ciri kematangan jiwa kita.

4. MENGAKUI KESALAHAN

 Orang yang baik bukanlah orang yang tidak pernah melakukan kesalahan. Orang baik adalah orang yang ketika tercebur kedalam kesalahan dan mengetahuinya, ia meninggalkan kesalahan itu dan bersungguh-sungguh berusaha agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sama. Imam Abul Hasan Al Asy’ari, seorang imam besar mahzab Mu’tazilah. Ketika beliau mengetahui bahwa mahzab yang diikutinya salah, beliau langsung meninggalkannya-padahal beliau mengikuti mahdzab tersebut selama empat puluh tahun, dan mengumumkan kepada masyarakat akan kesalahan mahzab ini. Apakah dengan mengakui kesalahan seperti itu, derajat Imam Al Asy’ari akan turun? Jawabannya tidak. Allah subhanahu wa Ta’ala mengangkat namanya, menjadi salah satu imam besar sepanjang masa. Kitabnya yang mengungkap kebusukan mahzab Mu’tazilah yaitu Al Ibanah menjadi salah satu rujukan yang dipelajari oleh da’i ahlussunnah. Nah, kalau orang besar seperti Imam Al Asy’ari saja tidak malu untuk mengakui kesalahannya, mengapa kita malu? Secara esensi, pengakuan akan kesalahan tidak akan menjatuhkan kehormatan dan harga diri seseorang. Dengan catatan, harus dengan keikhlasan dan kesabaran. Walaupun begitu perlu diklasifikasikan terlebih dahulu, sifat, jenis dan pengaruh kesalahan tersebut. Ada kesalahan yang membutuhkan klarifikasi, tapi ada juga kesalahan yang harus ditutupi. Ada juga kesalahan yang boleh memilih, boleh ditutupi atau diakui. Kesalahan yang membutuhkan klarifikasi biasanya berupa sesuatu yang sifatnya berhubungan dengan kepentingan banyak manusia, seperti ilmu untuk menghindari kesalahpahaman masyarakat awam. Terkadang, tindakan mengklarifikasi kesalahan seperti ini menimbulkan tantangan yang berat dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Seperti Imam al Asy’ari mendapatkan tantangan bahkan fitnah dari pengikut mahdzab Mu’tazilah. Sedangkan kesalahan yang harus ditutupi adalah aib yang telah Allah subhanahu wa Ta’ala tutupi, sehingga tidak layak kita membukanya. Tapi banyak sekali manusia, yang dengan sengaja membongkar aibnya sendiri, walaupun Allah sudah menutupnya. Perumpamaan orang seperti itu, adalah seperti melemparkan kotoran ke wajah sendiri. Hal seperti itu, pastinya bukan sesuatu yang bijaksana. Melanggar sesuatu yang dilarang merupakan tindakan menzalimi diri sendiri. Menyebarkan aib sendiri yang sudah Allah tutup merupakan sesuatu yang dilarang. Tapi, ketika aib kita memang sudah terbuka dan banyak orang yang mengetahuinya, tindakan yang paling tepat adalah mengakuinya, bertaubat dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Walaupun karena itu mungkin nama kita akan tercemar, dan kehormatan kita akan jatuh. Tapi tidak mengapa, itulah konsekuensi kebesaran hati kita. Pengakuan akan kesalahan akan melegakan hati kita, dibandingkan apabila kita terus mengelak dan mencari-cari alasan. Setelah mengakui kesalahan, kita harus terus maju dan berbuat yang sebaik-baiknya. Semoga dengan itu, kejelekan kita akan berganti dengan kebaikan. Setelah itu kesalahan jenis ketiga, boleh mengakuinya atau menutupinya. Bagaimana mengelolanya, disesuaikan kepentingan, dan dampak positif atau negatifnya. Ketika mengakui kesalahan mengakibatkan lebih banyak dampak positifnya, maka disarankan untuk mengakui kesalahan. Begitupun sebaliknya. Yang pastinya, berani mengakui kesalahan merupakan tanda kebesaran hati kita. Tidak semua orang berani seperti itu. Kebesaran hati merupakan salah satu tanda kebijaksanaan. Banyak sekali manfaat dari mengakui kesalahan, dan tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang merenungkannya dengan baik-baik. Semoga kita menjadi orang yang bijaksana.

Komentar

Postingan Populer