Gender dan Wanita dalam Islam
Didiskusikan pada Diskusi Pekanan Sabtu, 20/4/2013
1. Pengertian Gender
Kata gender
berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam
Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.Sedangkan dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips
dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan
gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti
Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang
sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender. H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai
suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif
dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan
pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar
pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi
menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya
untuk menjelaskan sesuatu.[1]
Jender diartikan sebagai “interpretasi mental
dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender
biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat
bagi laki-laki dan perempuan”.[2]
Dari berbagai
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa
masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.
2. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin (Seks)
Kalau gender
secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan
dari segi sosial budaya, maka jenis kelamin secara umum digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.[3] Secara
biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena menjadi bagian dari
anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung berkaitan dengan keadaan sosial
budaya masyarakat. Akan tetapi, secara budaya, alat kelamin menjadi faktor
paling penting dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Dan atribut ini
seseorang akan dipersepsikan laki-laki atau perempuan , atribut ini juga
senantiasa digunakan untuk menetukan hubungan relasi jender, seperti pembagian
fungsi, peran, dan status di dalam masyarakat. Istilah “jenis kelamin” (seks)
lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan
komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan
karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya.
Atribut jender ini akan menentukan peran
sosial didalam masyarakat. Sehingga
perbedaanya antara atribut jender bersifat biologis seperti penis dan vagina , akan menjadikan
identitas jender lebih mengarah pada perilaku seperti penggunaan aksesoris
laki-laki dan perempuan dan beban jender mengambil bentuk dalam peran sosial
seperti sektor domestik atau seksor publik. Sehingga pemilihan penis dan vagina
sebagai peristiwa biologis dapat disebut disebut kelamin biologis dan pemilihan penis
dan vagina sebagai sosial budaya dapat disebut alat kelamin budaya.
Studi gender
lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas
(femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada
aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan
perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang
laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih
banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya
digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual
selebihnya digunakan istilah gender.[4]
3. Feminisme
A. Sejarah
Feminisme
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles
Fourier pada tahun 1837.
Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat
sejak publikasi John Stuart Mill,
"Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada
tahun (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa
pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan
(feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum
laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik
khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi
Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah,
sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika
datangnya era Liberalisme di
Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di
abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan
ke seluruh dunia. Adanya fundamentalisme agama
yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi.Di lingkungan
agama Kristen terjadi praktik-praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini
ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa
jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pada tahun-tahun 1830-1840
sejalan terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai
diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan ,
diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup
mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.Perempuan di
negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai
keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).Pada tahun 1960
munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih
dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya
perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para
feminis Perancis
seperti Helene
Cixous (seorang Yahudi
kelahiran Aljazair
yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva
(seorang Bulgaria
yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa gerakan feminisme ini adalah
perwujudan karena adanya tidak ketidak
adilan jender yang meliputi:
1.
Marginalisasi
perempuan dalam berbagai bidang keluarga, pekerjaan, dan masyarakat.
2.
Subordinasi yang merugikan perempuan.
3.
Berbagai
ekerasan terhadap perempuan karna anggapan bahwa perempuan itu lemah.
4.
Serta
domestukasi terhadap perempuan dalam pekerjaan rumah tangga karna persepsi
adanya perempauan rajin,pemeliharea dan sebagainya.[6]
Sebagai upaya meruntuhkan sistem patriarki gerakan feminisme
menempuh 2 pola, pertama, melakukan
transformasi sosial dengan perubahan eksternal secara revolusioner. Mereka
beranggapan bahwa ager kedudukan dan status perempuan setara dengan laki-laki,
perempuan perlu masuk kedunia laki-laki.
Kedua, melakukan transformasi
sosial dengan pola perubahan secara revolusioner. Gerakan feminisme ini
melakukan transformasi sosial secara
perlahan , tetapi pasti dan alamiah. Menurut mereka dalam laki-laki dan
perempuan terdpat perbedaan karakter shingga muncul kualitas maskulin dan
kualitas feminim yang tidak dapat mengubah posisi perempuan.
B. Macam feminisme
·
feminisme
liberal
·
Feminisme
radikal
·
Feminisme Sosialis
·
Feminisme post kolonial
C.
Perempuan
Merut pandangan Islam.
SEBELUM
Islam datang, kondisi perempuan sangat memprihatinkan, baik di Jazirah Arab
maupun di wilayah-wilayah lain di seluruh belahan dunia. Di Yunani, misalnya,
perempuan disekap dan ditempatkan dalam istana-istana, mereka diperjualbelikan,
tidak memiliki hak-hak sipil, dan hak waris. Dalam kode hukum Hammurabi dan
kode hukum Assyria terlihat bahwa perempuan dipandang sebagai benda yang dapat
digantikan dengan nilai ekonomis. Kedudukan mereka sebagai isteri hanya
dipandang sebagai alat repreduksi untuk memperoleh keturunan dan suami mempunyai
hak mutlak terhadap mereka.
Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di Mesopotamia dilegitimasi dengan
mengatasnamakan agama dari zaman Achaemenid hingga zaman Sasania. Dalam agama
ini juga diyakini bahwa perempuan adalah ladang, segala sesuatu yang tumbuh di
sana adalah miliki empunya, sekalipun ia tidak menanamnya. Meminjamkan isteri
dipandang oleh para ahli hukum Sasania sebagai sebuah tindakan persaudaraan,
suatu tindakan solidaritas dengan sesama anggota komunitas yang dipandang suci
sebagai kewajiban agama.
Dalam hukum Romawi, wanita diperlakukan seperti anak kecil atau
orang gila. Mereka tidak memiliki hak milik dan dinggap hanya sebagai sosok
tanpa pribadi. Seorang kepala keluarga boleh menjual siapa pun yang
dikehendakinya dari sekian banyak wanita yang berada di bawah tanggungannya. Ia
berkuasa atas wanita-wanita itu sejak lahir hingga mereka meninggal dunia
(Mutawalli as-Sya‘rawi, 2006, hlm.7).
Sumber
godaan seksua.
Perempuan dianggap sebagai sumber petaka, sumber godaan seksual,
korupsi, dan kejahatan. Augustine merenungkan tentang ihwal misteri mengapa
Tuhan menciptakan perempuan. Dalam mayasrakat Yahudi, wanita dianggap sama
derajatnya dengan para pembantu, ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia
tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber
laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari sorga (M. Quraish
Shihab, 1996, hlm. 297).
Sedangkan dalam masyarakat Arab menjelang kelahiran Islam,
keadaannya tidaklah lebih baik. Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan
dengan persoalan perempuan di zaman Jahiliah. Bila diukur dengan kebebasan,
secara umum status perempuan sangatlah inferior di masyarakat pra-Islam. Dalam
masyarakat Mekkah seorang ayah boleh saja membunuh anaknya sekiranya lahir
perempuan. Pada zaman itu ada keyakinan bahwa setiap anak perempuan yang lahir
harus dibunuh, karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang asing atau
orang yang berkedudukan sosial rendah, seperti budak atau mawali.
Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan masih sangat
memprihatinkan. Di Inggris, misalnya, dalam perundang-undangannya sampai 1805
mengakui hak suami untuk menjual isterinya. Sampai 1882 wanita Inggris tak
memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh dan tak punya hak menuntut ke
pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill yang merupakan dokter wanita pertama di
dunia menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya
memboikot dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan
ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita
di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk
memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana (M. Quraish Shihab, 1996,
hlm. 296).
Posisi
terhormat
Mengenai kedudukan perempuan, Islam menempatkannya pada posisi yang
terhormat dan mulia, hak-hak sipilnya terlindungi tanpa ada diskriminasi. Sejak
awal sejarah manusia, dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis
kelamin. Laki-laki dan perempuan, sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang
sama. Dalam tradisi Islam, seorang suami juga mempunyai otoritas khusus tetapi
tidak sampai mencampuri urusan komitmen pribadi seorang perempuan dengan
Tuhan-Nya. Bahkan dalam urusan-urusan keduniaan pun perempuan memperoleh
hak-hak sebagaimana halnya yang diperoleh laki-laki.
Dalam suatu ketika Nabi didatangi oleh sekelompok perempuan untuk
menyatakan dukungan politik (bai’ah), maka peristiwa langka ini menyebabkan
turunnya QS. al-Mumtahanah/60:12). Islam mengembalikan hak-hak wanita yaitu
dengan memberi warisan kepada perempuan, menganggap bahwa asal usul manusia
adalah sama dengan laki-laki, Islam juga memberikan kepemilikan penuh kepada
perempuan terhadap hartanya, bahkan tidak boleh pihak lain ikut campur kecuali
setelah mendapat izin darinya (Salim Abd al-Ghani ar-Rafi‘I, 2002,
hlm.105-106).
Apabila perempuan berbuat sesuatu, maka pahala mereka sama dengan
apa yang diperbuat oleh laki-laki. Perempuan juga dijamin oleh Alquran
sebagaimana laki-laki bisa mencapai kesempurnaan dalam ketakwaan. Perempuan
juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan pasangan hidupnya,
bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa. Islam juga memberikan hak
yang sama kepada perempuan dalam mengakhiri kehidupan berumah tangga yaitu
dengan cara khulu.
Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama di depan
hukum. Laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam menuntut
ilmu, bahkan mereka hadir dalam majelis Nabi saw tanpa ada perbedaan yang
merdeka dengan budak. Pada masa Nabi Muhammad, kalangan perempuan bisa dan
boleh melakukan aktivitas sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki.
Menurut catatan Ruth Roded, perempuan yang berhubungan dengan Nabi
pada masa awal Islam tidak hanya isteri-isteri Nabi sebagaimana dikesankan oleh
penulis Islam. Menurutnya ada 1.200 perempuan dari beribu-ribu sahabat yang
berhubungan langsung dengan Nabi. Mereka ini bukan perempuan yang pasif. Mereka
melakukan gerakan, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan masyrakatnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat
menghormati dan menghargai perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara
mutlak.
Islam menghapus tradisi Jahiliyah yang begitu diskriminatif
terhadap perempuan. Dalam Islam laki-laki dan perempuan dianggap sebagai
makhluk Allah yang setara, bebas ber-tasharruf, di mana satu sama lainnya
saling melengkapi dan membutuhkan. Islam mengangkat derajat seorang perempuan
dan memberinya kebebasan, kehormatan, serta kepribadian yang independen.
Bahkan, dalam Alquran tidak ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan
seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa
tertentu.
Dilihat dari konteks praktik kaum Jahiliah, maka akan tampak bahwa
Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari keterkungkungan, kebodohan dan
penindasan. Hukum Islam merupakan sebuah revolusi. Alquran meningkatkan status
sosial perempuan dan meletakkan norma-norma yang jelas, sebagai penentangan
terhadap adat dan kebiasaan. Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai kartel yang
diperdagangkan atau obyek nafsu seksual. Perempuan yang kawin dijelaskan oleh
Alquran sebagai muhshanat, yakni suci dan aman.
Status
yang jelas
Alquran tidak hanya menentang semua praktik kesewenang-wenangan,
tetapi juga menanamkan norma-norma yang pasti dan memberi perempuan status yang
jelas. Alquran telah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam justeru telah
mengangkat harkat dan martabat perempuan dari penghinaan dan pembantaian oleh
kaum laki-laki pada zaman Jahiliyah. Alquran secara berulang-ulang menekankan
martabat perempuan, haknya, dan juga harus diperlakukan secara baik.
Oleh karena itu, sangat disayangkan sekiranya ada pemahaman bahwa
perempuan hanya boleh berkutat di kasur, dapur, dan sumur. Perempuan bebas
menempuh pendidikan setinggi-tingginya, apalagi Islam membebaskan manusia dari
kebodohan. Hal ini dibuktikan bahwa ayat Alquran pertama sekali turun adalah
iqra’ (bacalah), sehingga perempuan bisa berperestasi. Bahkan, Iblis lebih
takut dengan orang yang berilmu ketimbang yang hanya beribadah tanpa didasari
oleh ilmu pengetahuan yang memadai.[7]
[1] http//.www.nazarudin.co.id diakses pada 28 februari 2012
[2] Sri Suhanjati Sukri, Pemahaman
Islam Dan Tantanganh Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama Media,2002) hal.3
[3] ibid
[4] Sri Suhanjati Sukri, Pemahaman
Islam Dan Tantanganh Keadilan Jender, ( Yogyakarta: Gama Media, 2002 ) hal
5
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
diakses pada 12 Maret 2012
[6] Sri Suhanjati Sukri, Pemahaman
Islam Dan Tantanganh Keadilan Jender, ( Yogyakarta: Gama Media, 2002 )
hal 185
[7] Agustin Hanafi. Perempuan dalam Pandangan Islam-Serambi Indonesia
(file:///H:/PerempuandalamPandanganIslamSerambiIndonesia.htm) di akses pada 20
Maret 2013
Komentar