Gender dan Wanita dalam Islam


By: Indah Masruroh (10230025)
Didiskusikan pada Diskusi Pekanan Sabtu, 20/4/2013

1. Pengertian Gender
Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku.Sedangkan  dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex & Gender: an Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender. H. T. Wilson dalam Sex and Gender mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pengaruh faktor budaya dan kehidupan kolektif dalam membedakan laki-laki dan perempuan. Agak sejalan dengan pendapat yang dikutip Showalter yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa dalam mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu.[1]
Jender diartikan sebagai “interpretasi mental dan kultural terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Jender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan”.[2]
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

2. Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin (Seks)
Kalau gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, maka jenis kelamin secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi.[3] Secara biologis alat kelamin adalah konstruksi biologis karena menjadi bagian dari anatomi tubuh seseorang yang tidak langsung berkaitan dengan keadaan sosial budaya masyarakat. Akan tetapi, secara budaya, alat kelamin menjadi faktor paling penting dalam melegitimasi atribut jender seseorang. Dan atribut ini seseorang akan dipersepsikan laki-laki atau perempuan , atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menetukan hubungan relasi jender, seperti pembagian fungsi, peran, dan status di dalam masyarakat. Istilah “jenis kelamin” (seks) lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, dan karakteristik biologis lainnya. Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Atribut jender ini akan menentukan  peran sosial didalam masyarakat.  Sehingga perbedaanya antara atribut jender bersifat biologis  seperti penis dan vagina , akan menjadikan identitas jender lebih mengarah pada perilaku seperti penggunaan aksesoris laki-laki dan perempuan dan beban jender mengambil bentuk dalam peran sosial seperti sektor domestik atau seksor publik. Sehingga pemilihan penis dan vagina sebagai peristiwa biologis  dapat disebut  disebut kelamin biologis dan pemilihan penis dan vagina sebagai sosial budaya dapat disebut alat kelamin budaya.
Studi gender lebih menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (femininity) seseorang. Berbeda dengan studi sex yang lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan (femaleness). Proses pertumbuhan anak (child) menjadi seorang laki-laki (being a man) atau menjadi seorang perempuan (being a woman), lebih banyak digunakan istilah gender dari pada istilah sex. Istilah sex umumnya digunakan untuk merujuk kepada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual selebihnya digunakan istilah gender.[4]

3. Feminisme
A. Sejarah Feminisme
Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah.  Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi.Di lingkungan agama Kristen terjadi praktik-praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria.
Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa.Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood).Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.[5]
Jadi dapat disimpulkan bahwa gerakan feminisme ini adalah perwujudan karena adanya tidak  ketidak adilan jender  yang meliputi:
1.      Marginalisasi perempuan dalam berbagai bidang keluarga, pekerjaan, dan masyarakat.
2.       Subordinasi yang merugikan perempuan.
3.      Berbagai ekerasan terhadap perempuan karna anggapan bahwa perempuan itu lemah.
4.      Serta domestukasi terhadap perempuan dalam pekerjaan rumah tangga karna persepsi adanya perempauan rajin,pemeliharea dan sebagainya.[6]
Sebagai upaya meruntuhkan sistem patriarki gerakan feminisme menempuh 2 pola, pertama, melakukan transformasi sosial dengan perubahan eksternal secara revolusioner. Mereka beranggapan bahwa ager kedudukan dan status perempuan setara dengan laki-laki, perempuan perlu masuk kedunia laki-laki.  Kedua, melakukan transformasi sosial dengan pola perubahan secara revolusioner. Gerakan feminisme ini melakukan transformasi sosial secara  perlahan , tetapi pasti dan alamiah. Menurut mereka dalam laki-laki dan perempuan terdpat perbedaan karakter shingga muncul kualitas maskulin dan kualitas feminim yang tidak dapat mengubah posisi perempuan.
B.  Macam feminisme
·         feminisme liberal
·          Feminisme radikal
·         Feminisme Sosialis
·         Feminisme post kolonial

C.     Perempuan Merut pandangan Islam.
SEBELUM Islam datang, kondisi perempuan sangat memprihatinkan, baik di Jazirah Arab maupun di wilayah-wilayah lain di seluruh belahan dunia. Di Yunani, misalnya, perempuan disekap dan ditempatkan dalam istana-istana, mereka diperjualbelikan, tidak memiliki hak-hak sipil, dan hak waris. Dalam kode hukum Hammurabi dan kode hukum Assyria terlihat bahwa perempuan dipandang sebagai benda yang dapat digantikan dengan nilai ekonomis. Kedudukan mereka sebagai isteri hanya dipandang sebagai alat repreduksi untuk memperoleh keturunan dan suami mempunyai hak mutlak terhadap mereka.
Kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di Mesopotamia dilegitimasi dengan mengatasnamakan agama dari zaman Achaemenid hingga zaman Sasania. Dalam agama ini juga diyakini bahwa perempuan adalah ladang, segala sesuatu yang tumbuh di sana adalah miliki empunya, sekalipun ia tidak menanamnya. Meminjamkan isteri dipandang oleh para ahli hukum Sasania sebagai sebuah tindakan persaudaraan, suatu tindakan solidaritas dengan sesama anggota komunitas yang dipandang suci sebagai kewajiban agama.
Dalam hukum Romawi, wanita diperlakukan seperti anak kecil atau orang gila. Mereka tidak memiliki hak milik dan dinggap hanya sebagai sosok tanpa pribadi. Seorang kepala keluarga boleh menjual siapa pun yang dikehendakinya dari sekian banyak wanita yang berada di bawah tanggungannya. Ia berkuasa atas wanita-wanita itu sejak lahir hingga mereka meninggal dunia (Mutawalli as-Sya‘rawi, 2006, hlm.7).
 Sumber godaan seksua.
Perempuan dianggap sebagai sumber petaka, sumber godaan seksual, korupsi, dan kejahatan. Augustine merenungkan tentang ihwal misteri mengapa Tuhan menciptakan perempuan. Dalam mayasrakat Yahudi, wanita dianggap sama derajatnya dengan para pembantu, ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir dari sorga (M. Quraish Shihab, 1996, hlm. 297).
Sedangkan dalam masyarakat Arab menjelang kelahiran Islam, keadaannya tidaklah lebih baik. Ada banyak adat dan kebiasaan buruk berkaitan dengan persoalan perempuan di zaman Jahiliah. Bila diukur dengan kebebasan, secara umum status perempuan sangatlah inferior di masyarakat pra-Islam. Dalam masyarakat Mekkah seorang ayah boleh saja membunuh anaknya sekiranya lahir perempuan. Pada zaman itu ada keyakinan bahwa setiap anak perempuan yang lahir harus dibunuh, karena khawatir nantinya akan kawin dengan orang asing atau orang yang berkedudukan sosial rendah, seperti budak atau mawali.
Sepanjang abad pertengahan, nasib perempuan masih sangat memprihatinkan. Di Inggris, misalnya, dalam perundang-undangannya sampai 1805 mengakui hak suami untuk menjual isterinya. Sampai 1882 wanita Inggris tak memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh dan tak punya hak menuntut ke pengadilan. Ketika Elizabeth Blackwill yang merupakan dokter wanita pertama di dunia menyelesaikan studinya di Geneve University pada 1849, teman-temannya memboikot dengan dalih bahwa wanita tidak wajar memperoleh pelajaran. Bahkan ketika sementara dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar di sana (M. Quraish Shihab, 1996, hlm. 296).
Posisi terhormat
Mengenai kedudukan perempuan, Islam menempatkannya pada posisi yang terhormat dan mulia, hak-hak sipilnya terlindungi tanpa ada diskriminasi. Sejak awal sejarah manusia, dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan, sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama. Dalam tradisi Islam, seorang suami juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan komitmen pribadi seorang perempuan dengan Tuhan-Nya. Bahkan dalam urusan-urusan keduniaan pun perempuan memperoleh hak-hak sebagaimana halnya yang diperoleh laki-laki.
Dalam suatu ketika Nabi didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan dukungan politik (bai’ah), maka peristiwa langka ini menyebabkan turunnya QS. al-Mumtahanah/60:12). Islam mengembalikan hak-hak wanita yaitu dengan memberi warisan kepada perempuan, menganggap bahwa asal usul manusia adalah sama dengan laki-laki, Islam juga memberikan kepemilikan penuh kepada perempuan terhadap hartanya, bahkan tidak boleh pihak lain ikut campur kecuali setelah mendapat izin darinya (Salim Abd al-Ghani ar-Rafi‘I, 2002, hlm.105-106).
Apabila perempuan berbuat sesuatu, maka pahala mereka sama dengan apa yang diperbuat oleh laki-laki. Perempuan juga dijamin oleh Alquran sebagaimana laki-laki bisa mencapai kesempurnaan dalam ketakwaan. Perempuan juga diberikan kebebasan secara penuh dalam menentukan pasangan hidupnya, bahkan walinya dilarang menikahkannya secara paksa. Islam juga memberikan hak yang sama kepada perempuan dalam mengakhiri kehidupan berumah tangga yaitu dengan cara khulu.
Perempuan dan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum. Laki-laki dan perempuan diberikan kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu, bahkan mereka hadir dalam majelis Nabi saw tanpa ada perbedaan yang merdeka dengan budak. Pada masa Nabi Muhammad, kalangan perempuan bisa dan boleh melakukan aktivitas sebagaimana yang dilakukan oleh laki-laki.
Menurut catatan Ruth Roded, perempuan yang berhubungan dengan Nabi pada masa awal Islam tidak hanya isteri-isteri Nabi sebagaimana dikesankan oleh penulis Islam. Menurutnya ada 1.200 perempuan dari beribu-ribu sahabat yang berhubungan langsung dengan Nabi. Mereka ini bukan perempuan yang pasif. Mereka melakukan gerakan, baik di dalam keluarga maupun di lingkungan masyrakatnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Islam merupakan agama yang sangat menghormati dan menghargai perempuan dan laki-laki di hadapan Allah secara mutlak.
Islam menghapus tradisi Jahiliyah yang begitu diskriminatif terhadap perempuan. Dalam Islam laki-laki dan perempuan dianggap sebagai makhluk Allah yang setara, bebas ber-tasharruf, di mana satu sama lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Islam mengangkat derajat seorang perempuan dan memberinya kebebasan, kehormatan, serta kepribadian yang independen. Bahkan, dalam Alquran tidak ditemukan satu ayat pun yang menunjukkan keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu.
Dilihat dari konteks praktik kaum Jahiliah, maka akan tampak bahwa Islam diturunkan untuk membebaskan manusia dari keterkungkungan, kebodohan dan penindasan. Hukum Islam merupakan sebuah revolusi. Alquran meningkatkan status sosial perempuan dan meletakkan norma-norma yang jelas, sebagai penentangan terhadap adat dan kebiasaan. Mereka tidak lagi diperlakukan sebagai kartel yang diperdagangkan atau obyek nafsu seksual. Perempuan yang kawin dijelaskan oleh Alquran sebagai muhshanat, yakni suci dan aman.
Status yang jelas
Alquran tidak hanya menentang semua praktik kesewenang-wenangan, tetapi juga menanamkan norma-norma yang pasti dan memberi perempuan status yang jelas. Alquran telah membuktikan bahwa kehadiran agama Islam justeru telah mengangkat harkat dan martabat perempuan dari penghinaan dan pembantaian oleh kaum laki-laki pada zaman Jahiliyah. Alquran secara berulang-ulang menekankan martabat perempuan, haknya, dan juga harus diperlakukan secara baik.
Oleh karena itu, sangat disayangkan sekiranya ada pemahaman bahwa perempuan hanya boleh berkutat di kasur, dapur, dan sumur. Perempuan bebas menempuh pendidikan setinggi-tingginya, apalagi Islam membebaskan manusia dari kebodohan. Hal ini dibuktikan bahwa ayat Alquran pertama sekali turun adalah iqra’ (bacalah), sehingga perempuan bisa berperestasi. Bahkan, Iblis lebih takut dengan orang yang berilmu ketimbang yang hanya beribadah tanpa didasari oleh ilmu pengetahuan yang memadai.[7]



[1] http//.www.nazarudin.co.id diakses pada 28 februari 2012
[2] Sri Suhanjati Sukri, Pemahaman Islam Dan Tantanganh Keadilan Jender, (Yogyakarta: Gama Media,2002) hal.3
[3] ibid
[4] Sri Suhanjati Sukri, Pemahaman Islam Dan Tantanganh Keadilan Jender, ( Yogyakarta: Gama Media, 2002 ) hal 5

[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme diakses pada 12 Maret 2012
[6] Sri Suhanjati Sukri, Pemahaman Islam Dan Tantanganh Keadilan Jender, ( Yogyakarta: Gama Media, 2002 ) hal  185

[7] Agustin Hanafi. Perempuan dalam Pandangan Islam-Serambi Indonesia (file:///H:/PerempuandalamPandanganIslamSerambiIndonesia.htm) di akses pada 20 Maret 2013 

Komentar

Postingan Populer